jurnalmahakam.com, Jakarta – Per 10 Maret 2022, data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjukkan bahwa dari 2.337 perusahaan tambang mineral yang terdaftar, hanya 469 yang telah mendapat persetujuan RKAB. Data lanjutan pada 26 Desember 2024 mengungkap bahwa dari 830 permohonan RKAB tahun 2024-2026, sebanyak 336 disetujui untuk produksi, 224 untuk non-produksi, 262 ditolak, 6 masih dalam evaluasi, dan 2 menunggu penilaian. Kondisi ini menunjukkan adanya kendala struktural yang tidak hanya menyulitkan perusahaan, tetapi juga berpotensi merugikan negara secara fiskal.
RKAB bukan sekadar formalitas, melainkan titik mula dari legalitas operasi pertambangan. Tanpa dokumen ini, pemegang IUP tidak dapat memenuhi kewajiban negara seperti royalti, iuran tetap, maupun berbagai bentuk PNBP dan pajak lainnya. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit perusahaan tambang yang tetap beroperasi tanpa mengantongi RKAB. Praktik ini tak hanya melanggar hukum, tetapi juga rawan terjadi penghindaran kewajiban finansial kepada negara.
“Birokrasi RKAB sering berbelit. Padahal, investasi butuh kepastian hukum dan layanan yang cepat, akuntabel, dan dapat diakses,” kata Rido Doly Kristian, S.H., S.I.K., M.A.P., dalam catatan analisanya.
Peralihan kewenangan dari daerah ke pusat menambah panjang daftar tantangan, di mana sekitar 1.900 izin harus disesuaikan dengan standar nasional. Tak hanya itu, keterbatasan sumber daya manusia di Ditjen Minerba, khususnya verifikator dan inspektur tambang, memperparah kemacetan birokrasi.
Selain dampak ekonomi, operasi tambang tanpa RKAB juga bisa memicu krisis sosial. Jika izin tidak keluar, perusahaan berhenti berproduksi, dan risiko PHK massal pun tak terhindarkan. Di sisi lain, jika dibiarkan tetap berproduksi tanpa izin, kerugian fiskal negara mengintai dan integritas hukum negara dipertaruhkan.
Meski sanksi administratif terhadap pelanggaran RKAB telah diatur dalam UU Minerba, seperti teguran hingga pencabutan izin, efek jera masih rendah. Minimnya pengawasan dan lemahnya koordinasi antar lembaga pengatur menjadi sebab utama lemahnya penegakan hukum.
Sebagai solusi, Rido menyarankan peningkatan kualitas layanan penerbitan RKAB oleh Kementerian ESDM yang meliputi efisiensi prosedur, kejelasan waktu, dan transparansi proses. Ia juga menekankan pentingnya pengawasan melekat agar tidak terjadi pembiaran yang berdampak pada hilangnya potensi penerimaan negara. (vn)