jurnalmahakam.com, Kutai Kartanegara – Kehidupan seorang janda veteran pejuang kemerdekaan selalu menyimpan kisah penuh nilai perjuangan, pengabdian, dan keteguhan hati. Hj. Mastinah, yang kini berusia 87 tahun, merupakan satu di antara saksi hidup perjalanan panjang pasang surut kehidupan seorang veteran. Di rumah sederhana di Jalan Am Sangaji RT.6 No.85, Kelurahan Baru, Tenggarong, ia tetap setia menjaga kenangan bersama suami tercinta.
“Almarhum Bapak itu mulai berjuang saat masih kuliah, kalau tidak salah di pesantren. Masa perjuangannya berlangsung sekitar 3 tahun 11 bulan. Waktu pulang ke Tenggarong, barulah kami menikah,” tuturnya dengan suara lirih.
Mereka menikah pada sekitar tahun 1960-an. Saat itu, sang suami telah menyandang status veteran, namun belum menikah. Setelah resmi menjadi pasangan suami istri, mereka sempat menetap di Samarinda. Sang suami bekerja di Kantor Departemen Agama Provinsi, sebelum kemudian pindah ke Tenggarong untuk melanjutkan pengabdian di dunia politik. Ia menjadi anggota Dewan Pemerintahan Daerah (DPD) melalui Partai Masyumi, salah satu partai politik yang dikenal pada masa itu.
“Umur saya baru 20-an waktu menikah. Banyak veteran waktu itu memang menikah dengan gadis muda,” kenangnya sambil tersenyum.
Perjalanan hidup membawa keluarga ini sempat bermukim di Jakarta. Namun sekitar tahun 1970-an, mereka kembali ke Kalimantan. Kehidupan yang dijalani sederhana, namun tetap layak. Hingga akhirnya, duka besar datang ketika sang suami berpulang. Hj. Mastinah pun harus membesarkan anak-anak seorang diri.
“Alhamdulillah semua bisa saya lewati. Kami tinggal di rumah ini, pemberian orang tua saya Haji Jafar,” tuturnya.
Sang suami meninggal dunia bukan di kampung halaman. Beliau wafat di Tarakan saat sedang menghadiri Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-9 bersama Menteri Agama saat itu, Mukti Ali. Kepergiannya terjadi ketika beliau juga tengah mengunjungi anak angkatnya dari suku Dayak.
“Saya masih di Jakarta, beliau sudah pulang duluan ke Kalimantan. Dan wafat di sana,” ucap Hj. Mastinah lirih.
Meskipun tidak banyak meninggalkan pesan perjuangan, sang suami pernah memberikan nasihat sederhana namun bermakna bagi sang istri.
“Beliau pernah bilang ‘Kamu tiap bulan harus bikin bubur kacang hijau.’ Katanya bagus untuk kesehatan. Sampai sekarang saya masih buat,” ungkapnya sambil tersenyum kecil.
Kini, Hj. Mastinah menaruh harapan agar perhatian pemerintah terhadap janda veteran tetap berlanjut. Ia mengapresiasi langkah Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara yang telah secara rutin memberikan santunan bulanan bagi istri veteran.
“Cuma Kukar yang rutin kasih santunan. Kalau bisa, ya dinaikkan sedikit dari Rp900 ribu jadi Rp1 juta tiap bulannya,” ujarnya seraya tertawa ringan.
Baginya, lebih dari sekadar materi, penghormatan dalam bentuk simbolik justru jauh lebih berkesan. Salah satunya ketika pejabat pemerintah datang langsung ke rumah dengan membawa bendera Merah Putih.
“Kami ini generasi lama, memang tidak ikut perang langsung. Tapi melihat bendera itu dibawa ke rumah, saya merasa sangat bangga dan terharu,” ucapnya penuh rasa haru.
Selain sebagai istri veteran, Hj. Mastinah di masa mudanya juga dikenal aktif dalam organisasi perempuan. Ia pernah terlibat dalam Ibu Teladan dan Gabungan Emansipasi Wanita (GEW). Kini, ia lebih banyak mengisi hari-harinya dengan doa serta harapan agar pemerintah terus hadir di tengah masyarakat.
“Kami hanya bisa berdoa. Semoga para pejabat tidak cuma duduk di balik meja, tapi juga hadir langsung di tengah masyarakat,” tutupnya penuh harap.(VN)